Asal Mula Kota Pekalongan
Pada suatu hari di kerajaan mataram, sedang berlangsung
suatu pertemuan tertutup yang hanya dihadiri oleh para petinggi kerajaan
Mataram. Mereka sedang membahas masalah ramalan yang menyebutkan bahwa akan ada
seorang anak selir yang akan dapat menggoyangkan tahta Sultan Agung jika ia
dibesarkan di wilayah kerajaan. Setelah mempertimbangkan dengan matang,
akhirnya diputuskan untuk menitipkan anak tersebut kepada Ki Gede Cempaluk.
Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang putra yang lucu dan tampan. Anak laki-laki
tersebut adalah putra Sultan Agung yang dikandung oleh selirnya. Sesuai dengan
kesepakatan, maka sesaat setelah bayi tersebut lahir langsung dibawa oleh Ki
Gede Cempaluk untuk diasuh. Sultan Agung memberikan sebidang tanah di daerah
Gambiran, Kesesi kepada Ki Gede Cempaluk sebagai tempat untuk mendirikan
padepokan sekaligus kediamannya. Oleh Ki Gede Cempaluk, bayi laki-laki tersebut
kemudian diberi nama Jaka Bau.
Jaka Bau memiliki beberapa sahabat yang sangat akrab. Mereka
sudah seperti saudara. Mereka sudah kenal dan berteman akrab sejak mereka masih
kanak-kanak. Mereka senang sekali merpura-pura menjadi panglima perang tentara
Mataram setiap kali bermain perang-perangan. Bahkan mereka sering bertengkar
karena memperebutkan kedudukan. Mereka memiliki cita-cita yang sama, yaitu
ingin menjadi panglima perang kerajaan Mataram.
Seiring dengan berjalannya waktu, Jaka Bau tumbuh menjadi
seorang pemuda yang tampan, kuat, baik hati, dan memiliki ilmu kanuragan yang
sangat tinggi sehingga disegani oleh rekan-rekan sepadepokannya. Kesaktiannya
sudah sangat terkenal dan namanya cukup disegani di daerah Pantura.
Beberapa tahun kemudian, Ki Gede Cempaluk memutuskan bahwa
Jaka sudah cukup dewasa dan harus mengabdikan tenaga dan pikirannya kepada
kerajaan Mataram. Beliau kemudian mengutus Jaka Bau untuk berangkat ke Mataram
dengan disertai surat pengantar tentang jati diri Jaka Bau yang sebenarnya yang
ditujukan langsung kepada Sultan Agung.
Sesampainya di Mataram, Jaka Bau langsung pergi menemui
Sultan Agung dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Ki Gede Cempaluk.
Setelah Sultan Agung membaca surat dari Ki Gede Cempaluk tentang identitas diri
Jaka Bau yang sebenarnya, beliau menjadi sangat terkejut sekaligus bahagia
karena melihat putranya telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah,
rupawan, pemberani, dan baik hati.
Selama menjadi prajurit Mataram, karir Jaka Bau sangat
cemerlang. Pada suatu hari, Jaka Bau kemudian diutus untuk memimpin pasukan
mataram menyerang raja Uling di daerah Sigawok oleh Sultan Agung. Tugas
tersebut berhasil dijalankan dengan baik oleh Jaka Bau. Atas prestasinya
tersebut, Jaka Bau kemudian diberikan gelar Tumenggung Bahurekso oleh Sultan
Agung. Tumenggung Bahurekso kemudian diperbolehkan untuk kembali ke Pekalongan
dengan diberikan tugas untuk menanam dua batang pohon beringin di kulon kali
dan wetan kali pekalongan. Dua batang pohon beringin itulah yang sampai
sekarang tumbuh di tengah alun-alun Pekalongan dan Alun-alun Batang. Seusai
menunaikan tugasnya tersebut, tumenggung bahurekso dilantik menjadi adipati
(bupati) Kendal.
Pada suatu hari, Jaka Bau memutuskan untuk bertapa di hutan
gambiran. Pertapaan yang dilakukannya ini bukan sembarang semedi, tetapi tapa ngalong, yaitu bertapa dengan posisi terbalik seperti
kelelawar. Sejak saat itulah daerah gambiran dan sekitarnya dinamakan daerah
”PEKALONGAN”. Dalam melakukan semedinya, Jaka Bau mengalami banyak sekali
godaan, termasuk dari Dewi Lanjar, ratu penguasa para makhluk halus di pantai
utara Jawa. Namun karena kesaktiannya, Jaka Bau tidak terpengaruh sama sekali.
Justru akhirnya Dewi Lanjar yang takluk kepada Jaka Bau dan menjadi istrinya.
Mereka hidup dengan bahagia dan harmonis. Dengan Dewi Lanjar sebagai istrinya,
kesaktian Jaka Bau dan namanyapun semakin terkenal.
Beberapa bulan kemudian, Sultan Agung mengirim seorang utusan
untuk memanggil Tumenggung Bahurekso ke Mataram guna memimpin pasukan Koloduto
yang akan menyerang Batavia. Utusan tersebut juga memanggil Tan Kwie Djan
(Djaningrat), Bupati Pekalongan saat itu yang juga sahabat dan teman
seperjuangan Tumenggung Bahurekso. Mereka kemudian segera berangkat ke Mataram
bersama-sama untuk menghadap kepada Sultan Agung.
Setelah sampai di Mataram, mereka langsung mempersiapkan
segala keperluan untuk berperang. Seminggu kemudian, persiapan telah selesai
dan merekapun segera berangkat menuju Batavia setelah berpamitan kepada Sultan
Agung dan Ki Gede Cempaluk.
Sesampainya di Batavia, pasukan Koloduto tidak langsung
menyerang masuk. Mereka mengirim para agen yang menyamar menjadi pedagang dan
seniman. Mereka ditugaskan untuk melihat situasi dan kondisi dalam kota.
Beberapa hari kemudian, para prajurit yang menyamar menjadi pedagang dan
seniman tersebut menyerang pasukan Belanda di Batavia secara serempak pada
tengah malam. Namun serangan tersebut dapat dipatahkan oleh Belanda karena
keterbatasan jumlah dan persenjataan.
Dengan hasil tersebut, belanda merasa senang dan menjadi
lengah. Tidak lama kemudian, pasukan utama Koloduto menyerang dari darat dan
laut dari arah selatan dan utara. Pasukan Belanda menjadi panik dan sempat
kocar-kacir karena terkejut, namun serangan tersebut kembali gagal karena
serangan dari darat dan laut tidak secara bersamaan. Meskipun demikian, namun
pasukan Belanda juga mengalami kerugian yang sangat besar dan banyak pasukannya
yang tewas akibat serangan tersebut.
Pasukan Koloduto mundur dan menyusun rencana. Keesokan
harinya, pasukan Koloduto yang dipimpin Tumenggung Bahurekso Kembali menyerang
pasukan Belanda dengan menggali parit-parit. Untuk menangkis serangan tersebut,
Belanda menggunakan budak-budak mereka dengan janji akan diberikan kemerdekaan.
Pasukan Koloduto berkali-kali berhasil menembus garis
pertahanan pasukan Belanda, dan Djaningrat gugur dalam serangan tersebut. Namun
hal itu tidak mempengaruhi semangat juang pasukan Koloduto. Hal ini malah
menambah semangat juang mereka.
Pada keesokan harinya, tepatnya tanggal 21 September 1628
Tumenggung Bahurekso dan kedua putranya gugur dalam pertempuran. Hal ini
membuat kacau pasukan Koloduto karena kehilangan figur seorang pemimpin.
Akhirnya keadaan berbalik, dan pasukan Koloduto mundur dengan membawa para
pimpinan mereka yang telah gugur.
Sumber : http://basajawa41.wordpress.com/2012/08/28/asalusuling-pekalongan/
Sumber : http://basajawa41.wordpress.com/2012/08/28/asalusuling-pekalongan/
0 komentar:
Posting Komentar